IMPLEMENTASI KURIKULUM MERDEKA-2022, Socio-Assessment: Paradigma Baru Penilaian Proses Pembelajaran Abad ke-21

 

IMPLEMENTASI KURIKULUM MERDEKA-2022

Socio-Assessment:

Paradigma Baru Penilaian Proses Pembelajaran Abad ke-21

 

 

 

R.Witjaksono

 

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Sekolah Islam Terpadu (SIT) Nurul Fajri

Cikarang Barat – Bekasi

 

 

ABSTRACT

Since the beginning of the 21st century / post-modern century / / discourse ‘war’ century / digital century, the concept of socio-assessment in Indonesia has begun to be introduced when implementing the KBK Curriculum (2004), KTSP (2006), 2013 Curriculum, and finally the Merdeka Curriculum-2022. This concept uses a humanistic approach – accommodating the needs, interests, expectations and culture of each individual student in a learning process that is integrated with their assessment (formative assessment function through assessment for and as learning). In this sense, individual students are positioned as subjects in the national education system. Their potential is increased through their critical voices through sharing of teacher power between teachers and students in designing lesson plans. In addition, students’ potential is also enhanced through a comprehensive learning process (knowledge, skills, and attitudes/behavior) that is active, participatory and collaborative as well as enjoyable for each individual student. Individual students construct knowledge after socially interacting with themselves, their peers, and with their respective teachers through self-, peer-, and co-assessment and after socially interacting with the surrounding environment (socio constructivist paradigm) by using various active learning methods and various process assessment methods. Individual students are continuously monitored for their learning progress during the learning process through immediate, direct, constructive feedback (assessment for teacher learning) and reflective learning (assessment as student learning) in the context of day-to-day assessment. On the other hand, the teacher has a role and responsibility as a facilitator during the learning process through the zone of proximal development (scaffolding assessment). They act as educators and at the same time as teachers in relation to learning attainment. The above socio-assessment process can only take place if several conditions are met, including: a change in the ‘mindset’ of each stakeholder, adequate policy support from across the bureaucracy in the central/city/district government as well as school internal policies, teachers competent and professional, harmony between breadth vs depth of the Merdeka-2022 Curriculum material and time allocation and adequate learning facilities/infrastructure and budget so that the outcomes of the humanity-based learning process in this digital age can be a significant contributor to the realization of Indonesian people intelligent, skilled and polite.

 

ABSTRAK

Sejak awal abad ke-21 / abad post-modern/ / abad ‘perang’ wacana / abad digital, konsep socio-assessment di Indonesia sudah mulai diperkenalkan pada waktu mengimplementasikan Kurikulum KBK (2004), KTSP (2006), Kurikulum-2013, dan terakhir Kurikulum Merdeka-2022. Konsep ini menggunakan pendekatan kemanusiaan – mengakomodir kebutuhan, minat, harapan dan budaya setiap individu siswa dalam proses pembelajaran yang terintegrasi dengan penilaiannya (fungsi penilaian formatif melalui assessment for dan as learning). Individu siswa didudukan sebagai subjek dalam sistem pendidikan nasional. Ditingkatkan potensinya melalui suara-suara kritis mereka melalui sharing of teacher power antara guru dan siswa dalam mendesain RPP. Selain itu, potensi siswa juga ditingkatkan melalui proses pembelajaran komprehensif (pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku) yang aktif, partisipatif dan kolaboratif serta menyenangkan bagi setiap individu siswa. Individu siswa mengonstrak pengetahuan setelah berinteraksi sosial dengan dirinya, teman sebayanya, dan dengan guru mereka masing-masing melalui self-, peer-, dan co-assessment serta setelah berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitarnya (socio constructivist paradigm) dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran aktif dan berbagai metode penilaian proses. Individu siswa dimonitor perkembangan pembelajarannya secara kontinyu selama proses pembelajaran melalui immediate, direct constructive feedback (assessment for teacher learning) dan reflective learning (assessment as student learning) dalam konteks day-to-day assessment. Di sisi lain, guru berperan dan bertanggungjawab sebagai fasilitator selama berlangsungnya proses pembelajaran melalui zone of proximal development (scaffolding assessment). Mereka bertindak sebagai pendidik dan sekaligus sebagai pengajar dalam kaitannya dengan target / capaian pembelajaran. Hal tersebut di atas baru dapat berlangsung jika beberapa kondisi terpenuhi, antara lain: ada perubahan ‘mindset’ dari masing-masing pemangku kepentingan, ada dukungan kebijakan yang memadai dari lintas birokrasi yang berada di pemerintah pusat / kota / kabupaten maupun kebijakan internal sekolah, guru kompeten dan professional, ada keselarasan antara breadth vs depth dari materi Kurikulum Merdeka-2022 dan alokasi waktu serta ada fasilitas / sarana-prasarana pembelajaran dan anggaran yang memadai sehingga outcomes dari proses pembelajaran berbasis kemanusiaan di abad digital ini dapat menjadi kontributor signifikan bagi terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas, terampil dan santun.

I. PENDAHULUAN

Penyempurnaan Kurikulum-2013 menjadi Kurikulum Merdeka-2022 (documented curriculum / kurikulum ideal) mempunyai arti signifikan terhadap implementasinya di tingkat sekolah (enacted / implemented curriculum). Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana guru dan siswa mengimplementasikan konsep / teori / prinsip / hukum dalam konteks kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan masalah sehari-hari yang dihadapinya? Hal ini tidak terlepas dari adanya pergeseran paradigma hasil belajar (paradigma output) ke paradigma proses pembelajaran. Artikel ini bertujuan untuk menyosialisasikan pergeseran paradigma penilaian pendidikan dari abad ke-20 (abad modern) menuju abad ke-21 (abad post-modern) melalui sub-tema “Socio-Assessment: Paradigma Baru Penilaian Proses Pembelajaran Abad ke-21 – kepada semua pemangku kepentingan pendidikan dalam kaitannya dengan implementasi Kurikulum Merdeka-2022. Pada artikel ini dibahas beberapa aspek dari paradigma socio-assessment, diantaranya: pengertian, latar belakang konseptual dan faktual, mekanisme kerja, perbandingan penilaian pendidikan abad ke-20 dan abad ke-21, outcomes, feasibilitas implementasinya, sosialisasi serta kendala dalam implementasinya. Adapun pembahasan untuk setiap aspek tersebut dapat dilihat pada paragraf-paragraf di bawah ini.

 

II. Literatur – Pembahasannya dan Hasil Penelitian

The Revised Curriculum aims to empower our young people to develop their potential as individuals and to make informed and responsible decisions for living and working in the 21stcentury.”

(Northern Ireland Curriculum, KS-1 & 2, 2000)

 1. Pengertian socio-assessment

Socio-assessment (sociology of educational assessment) adalah penilaian proses pendidikan dilihat dari perspektif sosiologi. Perspektif ini meliputi hal-hal berikut: pertama,  melihat pola umum kehidupan sosial peserta didik melalui perilaku individu siswa selama berlangsungnya maupun setelah menyelesaikan penilaian pendidikan. Kedua, menyadari bahwa bagaimana individu siswa berpikir, beraktivitas, dan bertindak sangat dipengaruhi oleh bagaimana pihak sekolah/guru mengakomodir dan memfasilitasi kebutuhan, minat, dan harapannya  serta memperlakukannya. Misal dalam hal cara mengajarnya, cara pembelajarannya, cara mengujinya, maupun cara bertutur kata dan berperilakunya selama atau setelah proses pembelajaran. Selanjutnya, bahwa kehidupan sosial individu siswa terintegrasi dengan kehidupan sosial masyarakat di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Terakhir, kemungkinan adanya individu siswa yang termarjinalisasi setelah menempuh ujian sekolah yang pada akhirnya menginginkan perubahan status sosialnya. Jadi dapat dikatakan bahwa socio-assessment menggunakan pendekatan kemanusiaan (humanistic approach to education system) (Hargreaves, 2001; …., 2011).

Socio-assessment mulai diperkenalkan di Indonesia melalui implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 yang selanjutnya direvisi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dalam konteks otonomi daerah/desentralisasi (Witjaksono, 2007). Selanjutnya, mengalami revisi melahirkan Kurikulum-2013, dan akhirnya mengalami penyempurnaan menjadi Kurikulum Merdeka-2022 (KM-2022). Keempat kurikulum tersebut.

mempunyai filosofi/ideologi yang sama, yaitu suara-suara siswa dan guru yang sebelumnya diabaikan / tidak didengar / termarjinalisasi dalam paradigma input-output, kemudian dihidupkan kembali melalui paradigma proses pembelajaran yang terintegrasi dengan penilaiannya dalam fungsi penilaian formatif yang dikenal sebagai assessment for teacher learning dan assessment as student learning melalui sharing of teacher power dalam bentuk interaksi sosial (socio-assessment) antara guru-siswa (co-assessment), antara siswa-siswa (peer-assessment), dan dalam diri siswa (self-assessment) (Broadfoot, 1996).

2. Latar belakang konseptual dari socio-assessment

‘The ability to think critically, solve probs, work together, and manage oneself are critical for future success …

Without student talk we cannot evaluate and improve student thought … Talk helps students arrive at a greater

understanding than any one mind can come at alone.

                                                                                                                  (twitter quotes, 2015)

The ability to perceive or think differently is more important than the knowledge gained.

                                                                                                                                                       David Bohm

Socio-assessment dioperasionalkan melalui paradigma proses (socio-constructivist paradigm) dalam penilaian berbasis kelas. Paradigma proses didasarkan pada sistem pendidikan berbasis kemanusiaan dan berprinsip bahwa manusia itu mempunyai moral, nilai, norma, emosi, perasaan, dan saling berinteraksi dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya (Hargreaves, 2001). Disamping itu, paradigma proses mempunyai ideologi bahwa suara-suara yang selama ini termarjinalisasi dalam dominasi paradigma output (paradigma hasil belajar), yaitu suara siswa dan guru, dalam hal menentukan metodologi pendidikan – baik menentukan kurikulumnya (enacted curriculum), menentukan pedagoginya maupun menentukan cara penilaiannya – dihidupkan kembali melalui suara-suara kritis (‘critical voices’) mereka dan peran mereka yang proporsional (sharing of power) melalui self-, peer- dan co-assessment (Broadfoot, 1996). Inilah yang merupakan masalah konseptual terpenting dari implementasi Kurikulum Merdeka-2022 melalui konsep socio-assessment yang merupakan parameter signifikan dari pendidikan progresif / liberal di abad ke-21. Pada paradigma proses ini, pendidikan dipandang sebagai instrumen untuk melakukan transformasi sosial melalui epistemologi socio-constructivist.

Perlu juga diketahui bahwa paradigma proses mengakomodir empat pilar pendidikan abad ke-21, abad post-modern’ / ‘the age of discourse war’, yang diusulkan oleh Komite Pendidikan Internasional ke UNESCO, yaitu: Learning how to learn, how to do, how to be, dan how to live together respecting others (Dellors, 1996). Disamping itu juga mengakomodir keterampilan pembelajaran abad ke-21 melalui 4C, yaitu: critical thinking and problem solving, communications (oral and written), collaboration, and creativity and innovation yang didukung dengan penguasaan teknologi –‘Information, Media and ICT literacies’ (P-21, 2011).

3.Latar belakang faktual dari socio assessment

‘children start school from rather different points and therefore require different teaching approaches’ (Osborn et al., 1997, p.377).

Dengan menghidupkan kembali suara-suara yang termarjinalisasi tersebut yang dimanifestasikan dalam proses pembelajaran di kelas, yang terintegrasi dengan penilaiannya (fungsi penilaian formatif), siswa menjadi aktif dan partisipatif serta belajar itu menyenangkan bagi mereka (low stake assessment). Jadi proses pembelajaran berpusat pada siswa sehingga siswa merupakan subjek dalam proses pendidikan. Hal ini berarti bahwa ‘students’needs, ‘interests’, ‘expectations’ dan ‘culture’ harus diakomodir oleh guru dalam membuat Desain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kemudian guru sebagai orang yang mempunyai banyak pengalaman wajib untuk memfasilitasi interaksi sosial dalam proses pembelajaran (melalui sharing of power) dengan menggunakan berbagai macam strategi pembelajaran aktif dan berbagai metode penilaian (multiple methods of active teaching-learning and assessments). Selain itu, guru memberikan “immediate, direct and on-going constructive feedback” pada saat proses pembelajaran (scaffolding assessment). Jadi dalam ‘day-to-day / daily assessment’, proses pembelajaran dan penilaian terhadap kompetensi siswa (pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku) yang benar adalah tidak boleh terpisah melainkan harus simultan. Inilah yang dikenal dengan nama ‘assessment for teacher learning’ dan assessment as student learning’ melalui fungsi penilaian formatif (Black & Wiliam, 1998).

4.Mekanisme kerja socioassessment

Dalam hal ini ada dua mekanisme: mekanisme makro dan mekanisme mikro. Mekanisme makro menutut adanya sistem di semua lapisan manajemen birokrasi pendidikan, pusat dan daerah, yang memberi dukungan penuh terhadap terjadinya mekanisme mikro. Mekanisme makro terdiri atas komponen-komponen: penyiapan lingkungan pembelajaran siswa yang memadai dalam hal sarana-prasarananya, menyiapkan guru profesional yang siap mengimplementasikan paradigma proses (socioconstructivist paradigm), dokumen Kurikulum Merdeka-2022 yang ‘feasible’ dan ‘aplicable’ dan pedagogi pembelajaran aktif yang terintegrasi dengan penilaiannya serta pengembangan komunitas pembelajaran dan budaya kerjasama / kolaboratif (Fullan, 1998).

Pada mekanisme mikro, tahapan awal yang harus terpenuhi adalah adanya perubahan ‘mindset’ atau ’belief’ dari guru dan siswa mengenai pergeseran paradigma proses pembelajaran dari ‘teacher centre’ ke ‘student centre’ melalui ‘socio-constructivist paradigm’. Bahwa siswa akan mengonstrak pengetahuan (knowledge) berdasarkan pengalaman belajarnya setelah berinteraksi sosial dengan guru (co-assessment), dengan siswa lainnya (peer-assessment) atau dengan dirinya sendiri (self-assessment) atau berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (lingkungan fisik, sosial, ekonomi, politik, budaya maupun lingkungan sejarah) (Cobb, 1996).

Socio-assessment terjadi pada proses pembelajaran yang diintegrasikan dengan proses penilaiannya, di dalam penilaian berbasis kelas (classroom-based assessment) pada dua tahapan, pre-diagnostic assessment dan formative assessment (assessment for learning dan assessment as learning). Pada tahapan ini proses pembelajarannya menggunakan berbagai

metode pembelajaran aktif, partisipatif, dan kolaboratif (misal, ‘think-pairs-share’, ‘jigsaw’, ‘debate’, ‘role play’, ‘case study’, dll)  kontekstual, cross-curricular, on-going serta menggunakan berbagai metode penilaian (Prideaux, 2007).

Pada kedua tahapan tersebut di atas, penilaiannya tidak bertujuan untuk memberi skor/ grade (fungsi penilaian formatif) melainkan memberikan ‘immediate, direct and on-going constructive feedback’ (assessment for teacher learning) dan  ‘reflective learning’ (assessment as student learning – self- and peer-assessments ) setelah melalui tahapan zone of proximal development (scaffolding assessment) untuk mencapai target / tujuan pembelajaran.

5.Perbandingan socio assessment terhadap conventional assessment

If I had one wish for all our institutions, and the institution called school in particular, it is that we dedicate ourselves to allowing them to be what they would naturally become, which is human communities, not machines. Living beings who continually ask the questions: Why am I here? What is going on in my world? How might I and we best contribute? (Senge, 2000, p 58)

Institusi sekolah, secara alami, merupakan komunitas manusia yang berkecimpung dalam dunia pendidikan secara komprehensif – baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap – dan bukan merupakan komunitas mesin. Mereka masing-masing secara kontinyu bertanya mengenai standing / position mereka: Mengapa saya / mereka ada di dunia ini? Apa yang sedang berlangsung di dunia saya? Bagaimana saya dan kita semua berkontribusi dalam kehidupan kita sehari-hari dengan cara terbaik? Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas adalah socio-assessment yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

 

Aspek Conventional / Traditional assessment Socio assessment
1.       Awal dikenalkan

 

 

2.       Paradigma

3.       Domain dominan

 

4.       Ontologi-epistemologi-metodologi

 

5.       Metode

 

6.       Pendekatan

 

Abad 20, abad modern/ abad teknologi/ abad scientific.

 

 

 

Input-output (Breadth), teacher centre

 

Kognitif – fokus pada output / hasil belajar

 

Objectivist, positivist, reductionist/ stimulus-respon/quantitative-, measureable objectives

 

Single method of Paper and Pencil Tests melalui tes tertulis dengan berbagai format.

Technical – mechanistic  melalui model matematika dari ‘Classical / Modern Test Theories  (economic approach)

Memasuki abad-21/ abad post modern – abad ‘dicourse war’ / perang wacana/ perang ideologi melalui ‘information, technology and communications’ICT.

 

Process (Depth), student centre,

 

 

Kognitif, psikomotor, dan afektif – fokus pada proses pembelajaran

 

Post-stucturalist, Multiple-subjectivities/ socio constructivist-Constructionist /qualitative-observable & unmeasureable objectives

 

Multiple-methods of Assessment (penilaian kinerja, project, portofolio proses & produk, penilaian sikap dll)

 

Interaksi sosial antara guru-siswa/siswa-siswa (humanistic approach) melalui self-peer- dan co-assessment dan sharing of power antara guru-siswa.

6.Outcomes dari konsep socioassessment

The test of successful education is not the amount of knowledge that a pupil takes away from school, but his appetite to know and his capacity to learn (Sir Richard Livingston, President of Corpus Christi College, Oxford, 1941 – cited in Emslie et al., 2004, p.4).

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana meningkatkan kapasitas belajar siswa (dalam proses pembelajarannya) yang sekaligus dapat memperbaiki outcomesnya (hasil pembelajarannya)? Dari sudut pandang sosial-politik, peran pemerintah pusat dan daerah sangat penting dalam hal memformulasikan dan memberi dukungan penuh terhadap kebijakan mengenai socio-assessment yang terintegrasi dengan proses pembelajaran siswa. Siswa belajar secara komprehensif (pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku) melalui pembelajaran aktif, partisipatif dan kolaboratif, baik individual maupun kelompok, menggunakan konteks kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan masalah kehidupan – ‘real-life contexts to solve real-life problems’ (authentic contexts). Hal ini harus tertuang dalam mendesain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang transparan serta komunikasi dua arah antara guru dan siswa dalam rangka mengakomodir needs, interests, expectatitions dan culture siswa (sharing of power). Dengan cara ini kapasitas belajar siswa dapat ditingkatkan (Loyd, 1994). Proses pembelajaran yang berpusat pada siswa tersebut terintegrasi dengan penilaiannya dalam ‘day-to-day assessment’ melalui fungsi penilaian formatif, sehingga perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku siswa dapat dimonitor secara langsung dan terus-menerus melalui ‘immediate, direct, constructive feedback, deep reflective-learning pada continuous, on-going assessment. Sebagai implikasinya, siswa akan belajar dengan menyenangkan, timbul motivasi internal pada diri siswa, saling menghargai pendapat teman, santun dan hormat kepada sesama, tidak egois dan tidak otoriter serta sebagai konsekuensinya prestasi akademik siswa diharapkan akan meningkat. Inilah yang merupakan outcomes dari paradigma proses melalui socio assessment.

Hal tersebut sejalan dengan paradigma proses pembelajaran abad ke-21, sebagai hasil sintesa dari empat (4) pilar pendidikan dan 4C – keterampilan pembelajaran abad-21, yang kurang-lebih berbunyi sebagai berikut:

Students learn, individually or collaboratively in pairs, small groups or a whole class, in order both to think critically, creatively, innovatively  and to do creatively and innovatively by respecting others supported by sophisticated technology within a real-life context to solve any kind of real-life problems within a school community through communications, both oral and written. The main outcome is students who are dilligent, skillful and polite.

7.Feasibilitas socio-assessment

How to put the idea into practice? How to implement the new curriculum into the school/classroom level? There are likely a lot of challenges, issues and problems (technical or non-technical). (Fullan, 2001)

Untuk mengantisipasi adanya hambatan / tantangan, isu maupun masalah teknis / non teknis dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka-2022 sehingga dapat meyakinkan stakeholder pendidikan akan nilai-nilai yang terkandung di dalam perubahan tersebut, termasuk di dalamnya perubahan ke paradigma socio-assessment, perlu diperhatikan beberapa kondisi berikut:

Pertama, harus ada perubahan ‘mindset’ / ‘belief’ dan komitmen/political will dari masing-masing individu yang merupakan stakeholder pendidikan – jajaran pemerintah pusat dan daerah, jajaran sekolah (kepala sekolah, guru, siswa) dan orangtua.

Kedua, pada jajaran manajemen birokrasi, indikatornya dapat terlihat dari dukungan kebijakan yang dikeluarkan, baik melalui undang-undang sistem pendidikan nasional, peraturan menteri, peraturan pemerintah maupun rencana strategis mengenai kurikulum, pedagogi serta penilaian proses pendidikan. Sedangkan pada jajaran sekolah dan orang tua, indikatornya dapat terlihat dari cara berpikir, bertindak, dan bersikap terhadap paradigma ‘socio-assessment’ melalui penilaian formatif.

Ketiga, guru sebagai ujung tombak dari perubahan paradigma pembelajaran yang terintegrasi dengan penilaiannya melalui fungsi penilaian formatif, harus kompeten dan profesional dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka-2022 secara komprehensif, termasuk di dalamnya pedagogi pembelajaran aktif yang terintegrasi dengan penilaiannya melalui socio-assessment (penilaian formatif).

Kemudian, materi Kurikulum Merdeka-2022 tidak overload (breadth versus depth) dan mempunyai alokasi waktu yang memadai untuk berlangsungnya proses pembelajaran aktif yang efektif. Dengan demikian setiap individu siswa (high/low achievers) pada setiap jenjang pendidikan mempunyai kesempatan belajar yang sama untuk mendapatkan pengalaman belajar sebanyak-banyaknya dan detail (deep learning) dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran aktif serta berbagai metode penilaian proses.

Selanjutnya, semua fasilitas / sarana-prasarana yang diperlukan untuk terjadinya / berlangsungnya paradigma proses di tingkat sekolah / kelas melalui socio-assessment harus tersedia dan memadai serta mempunyai mutu yang baik.

Pada akhirnya, perlu anggaran yang memadai dalam mengimplementasikan socio-assessment melalui implementasi Kurikulum Merdeka-2022 untuk tujuan sosialisasi baik melalui pilot project, seminar maupun workshop yang lebih mengutamakan pada hasil yang bermutu baik.

Apabila semua kondisi tersebut di atas terpenuhi, implementasi Kurikulum Merdeka-2022 melalui pembelajaran yang terintegrasi dengan penilaian formatifnya (socio-assessment) diharapkan akan dapat terlaksana secara feasible dan valuable.

8.Sosialisasi socio-assessment

Sosialisasi konsep socio-assessment  dilakukan bersamaan waktunya dengan sosialisasi Kurikulum Merdeka-2022 oleh nara sumber yang benar-benar kompeten, yaitu mengetahui ontologi, epistemologi serta metodologi dari masing-masing aspek Kurikulum Merdeka-2022, aspek pedagoginya maupun aspek penilaian prosesnya. Selanjutnya, perlu adanya komunikasi dua arah dan terus-menerus serta kerjasama yang baik dan bermutu antar institusi terkait – Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKA), semua Direktorat di lingkungan Direktorat Dikdasmen, Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan maupun Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) serta Dinas Pendidikan Provinsi  / Kota / Kabupaten dan guru-guru mata pelajaran / bidang studi lintas jenjang pendidikan. Adapun bentuk sosialisasinya dapat berupa seminar, konferensi atau workshop yang memfokuskan pada kualitas hasilnya.

9.Kendala dalam implementasi socio-assessment

Change is hard and change takes time

(twitter quotes, 2015)

Kendala utamanya adalah       kurangnya tenaga sumber daya manusia yang kompeten, profesional dan handal dalam penguasaan ontologi, epistemologi maupun metodologi dari socio-assessment. Kemudian, dengan merujuk hasil penelitian studi kasus mengenai implementasi KBK-2004 dan KTSP-2006 (Witjaksono, 2007), walaupun tidak dapat dipakai untuk men-generalisasi, kemungkinan ada peluang menghadapi kesulitan untuk mengubah mindset/belief serta komitmen guru dan siswa untuk mengimplementasikan socio-assessment (penilaian formatif) dalam kaitannya dengan implementasi Kurikulum Merdeka-2022. Pada akhirnya, hal yang sama, keterbatasan sarana-prasarana pembelajaran, keterbatasan finansial dan waktu pada saat ini (scarcity of any kind of resources) untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka-2022 dengan benar melalui socio-assessment (penilaian fungsi formatif) kemungkinan juga merupakan kendala yang perlu mendapatkan perhatian serius (Witjaksono, 2007; 2013).

 

III. Kesimpulan

Sejak awal abad ke-21 / abad post-modern/ / abad ‘perang’ wacana / abad digital, konsep socio-assessment di Indonesia sudah mulai diperkenalkan pada waktu mengimplementasikan Kurikulum KBK (2004), KTSP (2006), Kurikulum-2013, dan terakhir Kurikulum Merdeka-2022. Konsep ini menggunakan pendekatan kemanusiaan – mengakomodir kebutuhan, minat, harapan dan budaya setiap individu siswa dalam proses pembelajaran yang terintegrasi dengan penilaiannya (fungsi penilaian formatif melalui assessment for dan as learning). Individu siswa didudukan sebagai subjek dalam sistem pendidikan nasional. Ditingkatkan potensinya melalui suara-suara kritis mereka melalui sharing of teacher power antara guru dan siswa dalam mendesain RPP. Selain itu, potensi siswa juga ditingkatkan melalui proses pembelajaran komprehensif (pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku) yang aktif, partisipatif dan kolaboratif serta menyenangkan bagi setiap individu siswa. Individu siswa mengonstrak pengetahuan setelah berinteraksi sosial dengan dirinya, teman sebayanya, dan dengan guru mereka masing-masing melalui self-, peer-, dan co-assessment serta setelah berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitarnya (socio constructivist paradigm) dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran aktif dan berbagai metode penilaian proses. Individu siswa dimonitor perkembangan pembelajarannya secara kontinyu selama proses pembelajaran melalui immediate, direct constructive feedback (assessment for teacher learning) dan reflective learning (assessment as student learning) dalam konteks day-to-day assessment. Di sisi lain, guru berperan dan bertanggungjawab sebagai fasilitator selama berlangsungnya proses pembelajaran melalui zone of proximal development (scaffolding assessment). Mereka bertindak sebagai pendidik dan sekaligus sebagai pengajar dalam kaitannya dengan target / capaian pembelajaran. Hal tersebut di atas baru dapat berlangsung jika beberapa kondisi terpenuhi, antara lain: ada perubahan ‘mindset’ dari masing-masing pemangku kepentingan, ada dukungan kebijakan yang memadai dari lintas birokrasi yang berada di pemerintah pusat / kota / kabupaten maupun kebijakan internal sekolah, guru kompeten dan professional, ada keselarasan antara breadth vs depth dari materi Kurikulum Merdeka-2022 dan alokasi waktu serta ada fasilitas / sarana-prasarana pembelajaran dan anggaran yang memadai sehingga outcomes dari proses pembelajaran berbasis kemanusiaan di abad digital ini dapat menjadi kontributor signifikan bagi terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas, terampil dan santun.

 

Pustaka

 

….. (2011). Sociology: Perspective, Theory, and Method (chapter 1) in Instructor’s Manual

for Macionis Society: The Basics, 11/e. Pearson Education, Inc.

Black, P., and Wiliam, D. (1998). Assessment and classroom learning. Assessment in

              Education, 5(1), pp.7-74.

Black, P., Harrison, C., Lee., C., Marshall, B., & Wiliam, D. (2002) Working inside the

              black box: Assessment for learning in the classroom. London: King’s College,

Department of Education & Professional Studies.

Black, P., Harisson, C., Lee, C., Marshall, B., and Wiliam, D. (2003). Formative and

               summative assessment: can they serve learning together? (Draft). Paper

presented at AERA Chicago, 23 April. SIG Classroom Assessment Meeting.

Broadfoot, P. (1996). Assessment and learning: Power or partnership? In H.Goldstein

and T. Lewis (Eds.), Assessment: Problems, developments and statistical issues.

John Wiley & Sons, Ltd.

Cobb, P. (1994). Where is the mind? Constructivist and socio-cultural perspectives on

mathematical development. Educational Researcher, 23(7), pp.13–20.

Delors, J., Al Mufti, I., Amagi, A., et al. (1996). Learning: the treasure within. Report of the

               International Commission on Education for the Twenty First Century. Paris:

UNESCO.

Emslie, G., Jonsson, M., Kwawukume, S., Kuhlenkamp, J., Noor, N., and Strapkova, I.

(2004). Assessment: Its impact in the classroom. Bobergsskolan Report.

Fullan, M. (1998). Education reform: Are we on the right track? Canadian Education

              Association, 38(3).

Gipps, C. (1999). Socio cultural aspects of assessment. Review of Research in Education

– AERA, 24, pp. 355 – 392.

Hargreaves, D. (2001). A capital theory of school effectiveness and improvement. British

               Educational Research Journal, 27(4). Qualifications and Curriculum Authority.

Loyd, B.H. (1994). Book review: Toward a science of educational testing and assessment

by H. Berlak., F.M. Newmann., E. Adam., D.A. Archbald., T. Burgess., J.

Raven., and T.A. Romberg. Journal of Educational Measurement, 31(1), pp.83-87.

Northern Ireland Curriculum-KS1&2. (2000). Active Learning and teaching methods for

               keystages1&2.

Osborn, M., Broadfoot, P., Planel, C., and Pollard, A. (1997). Social class, educational

opportunity and equal entitlement: dilemmas of schooling in England and

France. Comparative Education, 33(3), pp.375-393.

Prideaux, J.B. (2007). The constructivist approach to mathematics teaching and the active

               learning strategies used to enhance student understanding. Fisher Digital

Publications.

Senge, P.M. (2000). Systems Change in Education, Reflections, Vol.1, No. 3, p 58

The Partnership for 21st Century Skills (P21), 2011. Putting it all together: 21st Century

               skills, Common Core and Assessment.

The very best twitter quotes from ILA (2015).

Witjaksono, R. (2007). Analysis of Policy on Educational Assessment in relation to the

              Implementation of the New 2004 Curriculum/Revised 2006 Curriculum (KTSP):

              A Case Study of Four Senior General Secondary Schools in Jakarta, Indonesia

(Unpublished Doctoral Thesis, 2nd Draft). School of Curriculum, Pedagogy, and

Assessment, Institute of Education, University of London.

Witjaksono, R. (2013). Implementasi Awal Kebijakan Kurikulum 2013 di Sekolah Menengah

Atas Negeri 3 Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Buletin

              Puspendik.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Scroll to Top