Diskursus Penilaian Pendidikan dalam Konteks Indonesia: Konflik Kebijakan Penilaian Pendidikan – Beragam Tujuan Penilaian.
Drs. R. Witjaksono, MA. M.Phil
Puslitbang SIT Nurul Fajri
Abstract. Different education policymakers have different conceptions about student assessment. This, subsequently, leads to different interests in terms of the purpose of assessing students. Consequently, there is a range of political conflicts concerning the competing values or objectives of student assessment in the formulation of the educational assessment policy, along with the curriculum policy formulation. This article is written with the intent, in general, to share insights on the discourse of educational assessment with all education stakeholders. Specifically, this article is addressed to all educational assessment policy makers. In reviewing the conflicting educational assessment policy discourse in terms of multiple purposes of assessment, the author uses critical discourse analysis based on Broadfoot’s (1979) assessment model of institutionalisation, Ball’s (1990) model of marketisation and Habermas’s (1972/1978) three paradigms of assessment and evaluation. The results of the study are that the formulation of educational assessment policies with different objectives, namely for certification, selection, and accountability, each has its own problems in its implementation. The implementation of certification assessment policies through external exams (national examinations) has political, social and economic implications, especially for students whose intellectual capital is low. In relation to this, there are at least seven (7) fundamental questions that need to be considered carefully and comprehensively. Furthermore, in the implementation of selection assessment policies, education policy makers apply economic rationality based on a free market approach to plan the national education system in terms of providing curriculum and assessment practices. In this matter, there are at least two (2) fundamental questions which also require careful consideration. Finally, in the implementation of the assessment policy in the context of accountability, the government’s approach to the assessment of education that combines it with a system of accountability, through managerial/bureaucratic mechanisms and free markets, needs to be questioned further. Regarding to this, there are at least six (6) basic questions that require special attention.
Keywords: Discourse, educational assessment policy, policy makers, assessment objectives
Abstrak. Pemangku kebijakan pendidikan yang berbeda memiliki konsepsi yang berbeda tentang penilaian peserta didik. Hal ini selanjutnya mengarah pada tujuan yang berbeda dalam menilai peserta didik. Akibatnya, ada berbagai konflik kepentingan mengenai tujuan penilaian peserta didik di dalam perumusan kebijakan penilaian pendidikan. Artikel ini ditulis dengan maksud, secara umum, untuk berbagi wawasan tentang wacana penilaian pendidikan dengan semua pemangku kepentingan pendidikan. Secara khusus, penulisan artikel ini ditujukan kepada semua pemangku kebijakan yang berkaitan erat dengan bidang penilaian pendidikan. Dalam melakukan kajian terhadap kebijakan penilaian pendidikan yang berbeda dalam hal tujuan penilaiannya, penulis menggunakan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) berdasarkan bingkai pada konteks international. Adapun bingkai yang dimaksud adalah model penilaian institusional dari Broadfoot (1979), model pasar bebas dari Ball (1990), dan tiga paradigma penilaian dan evaluasi dari Habermas (1972/1978). Adapun hasil kajiannya adalah bahwa perumusan kebijakan penilaian pendidikan dengan tujuan yang berbedabeda, yaitu untuk sertifikasi, seleksi, dan akuntabilitas, masing-masing mempunyai permasalahan tersendiri pada implementasinya. Implementasi kebijakan penilaian sertifikasi melalui ujian eksternal (ujian nasional) mempunyai implikasi politik, sosial, dan ekonomi terutama bagi peserta didik yang modal intelektualnya rendah. Dalam hal ini, minimal ada tujuh (7) pertanyaan mendasar yang perlu dipertimbangkan secara seksama dan komprehensif. Selanjutnya, pada implementasi kebijakan penilaian seleksi, pemangku kebijakan pendidikan menerapkan rasionalitas ekonomi berdasarkan pendekatan pasar bebas untuk merencanakan sistem pendidikan nasional dalam hal penyediaan kurikulum dan praktik penilaiannya. Dalam hal ini minimal ada dua (2) pertanyaan mendasar yang juga memerlukan pertimbangan seksama. Pada akhirnya, pada implementasi kebijakan penilaian dalam konteks akuntabilitas, pendekatan pemerintah terhadap penilaian pendidikan yang menggabungkannya dengan sistem akuntabilitas, melalui mekanisme manajerial/birokrasi dan pasar bebas, perlu dipertanyakan lebih lanjut. Dalam hal ini minimal ada enam (6) pertanyaan mendasar yang memerlukan perhatian khusus.
Kata kunci: Diskursus, kebijakan penilaian pendidikan, pemangku kebijakan, tujuan penilaian
PENDAHULUAN
Pemangku kebijakan pendidikan yang berbeda memiliki konsepsi yang berbeda tentang penilaian peserta didik. Hal ini selanjutnya mengarah pada minat yang berbeda dalam kaitannya dengan tujuan menilai peserta didik. Sebagai akibatnya, ada berbagai konflik kepentingan mengenai tujuan penilaian peserta didik dalam perumusan kebijakan penilaian pendidikan maupun perumusan kebijakan kurikulum. Berdasarkan tujuannya, ada dua jenis penilaian: penilaian untuk melayani kebutuhan pemangku kebijakan pendidikan, eksternal sekolah (yaitu melalui ujian eksternal) dan penilaian untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, internal sekolah (yaitu melalui penilaian kelas). Dalam hal ujian eksternal, ada tiga jenis penilaian. Pertama, penilaian untuk sertifikasi peserta didik pada akhir jenjang sekolah yang mempunyai peran penting dalam membedakan masteri dari nonmasteri. Kedua, penilaian untuk proses seleksi yang mengklasifikasikan peserta didik berdasarkan perbedaan individu dalam hal kemampuan mereka. Akhirnya, penilaian untuk tujuan memantau kinerja akademik peserta didik yang menggunakan pendekatan dengan pemberian penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) dalam sistem akuntabilitas. Mengenai penilaian kelas, tujuan utamanya adalah memberikan informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan meningkatkan inovasi pedagogik guru (Black and Wiliam, 1998). Artikel ini difokuskan pada pembahasan berbagai tujuan penilaian pendidikan dari perspektif pemangku kebijakan (eksternal sekolah). Diskusi kemudian dilanjutkan sampai ke praktik penilaian pendidikan dalam konteks yang lebih luas dalam kaitannya dengan masalah politik, ekonomi, dan teknis/metodologis.
METODE
Dalam melakukan kajian terhadap tujuan penilaian pendidikan yang berbeda-beda, penulis menggunakan metode analisis wacana kritis (critical discourse analysis) dari Fairclough (1995) dan definisi discourse dari Ball (2005). Menurut Ball (2005), discourse merupakan otoritas seseorang untuk menyampaikan gagasannya dengan memperhatikan kapan waktunya dan dimana. Gagasan tersebut disampaikan dengan cara merekonstruksi (menggabungkan, mengganti, dan menghilangkan) kata-kata sedemikian rupa sehingga membentuk makna baru.
KAJIAN LITERATUR DAN PEMBAHASAN
Kajian mengenai diskursus tujuan penilaian pendidikan yang berbeda-beda tersebut dilakukan dengan menggunakan bingkai international. Selanjutnya, bingkai tersebut dijadikan sebagai stimulus untuk memunculkan masalah-masalah tersembunyi ke permukaan sebagai bahan untuk diskusi, yang sekaligus merangkap sebagai hasil kajian. Adapun diskursus tersebut dapat dilihat pada paragraf-paragraf berikut.
A. Konflik dalam perumusan kebijakan penilaian pendidikan dan praktik penilaian: sertifikasi, seleksi, dan akuntabilitas
Untuk memahami berbagai tujuan penilaian pendidikan dalam kaitannya dengan penilaian, yang terintegrasi dengan kurikulum, perumusan kebijakan, dan praktik kebijakan sistem pendidikan, kajian pustaka ini mendasarkan pembahasannya pada model penilaian institusional dari Broadfoot (1979) dan model marketisasi pendidikan dari Ball (1990). Dalam melakukan kajian ini, juga digunakan tiga paradigma penilaian dan evaluasi dari Habermas (1972 [1978]) untuk mengklarifikasi diskusi, yaitu: paradigma analitik empiris (pendekatan teknis-rasional) menekankan model psikometrik melalui penilaian standar, paradigma interpretatif (pendekatan konstruktivis) menekankan pentingnya pemahaman peserta didik dalam proses pembelajaran, dan paradigma teoritik kritikal yang menekankan perlunya melakukan kritik terhadap tujuan pembelajaran peserta didik.
A.1. Diskursus kebijakan penilaian sertifikasi
Mengingat peran penilaian pendidikan sebagai mekanisme kontrol yang kuat dari suatu negara (Broadfoot dan Black, 2004) dalam rangka untuk membakukan sistem pendidikan, berdasarkan kebijakan yang diamanatkan melalui standar isi kurikulum nasional dan standar penilaian, tidak mengherankan bahwa beberapa pemangku kebijakan pendidikan memusatkan perhatian mereka pada gagasan standar pendidikan nasional. Dengan pemikiran ini, pemangku kebijakan percaya bahwa secara umum pencapaian standar pendidikan nasional akan meningkat. Selain itu, ada koherensi kurikuler dan kesamaan dalam hal apa yang diajarkan dan apa yang dinilai di seluruh negara bagian (McDonnell, 1994). Kutipan berikut memberikan ilustrasinya:
Standards are a call to a common education agenda … the expectations are that with standards and assessment, we will get the coherence and focus of the system has lacked (a staff member of the National Council on Education, Standards and Testing, NCEST – cited in McDonnell, 1994, p.8).
Dengan demikian, hal yang diharapkan oleh pemangku kebijakan adalah sesuai dengan kutipan berikut.
with national standards, we will get higher uniform standards. There is [a higher] level inherent in the drive for national standards. If you do not figure out what you are about, you may flounder around a lot. Also, the assumption is that if the standards are not national, they will not be set uniformly high, and there will be a lot of diversions. There is an assumed discipline to the standards, and assessment is part of the stick (a Republican member of US Congress – cited in McDonnell, 1994, p.8).
Students passing final examinations in high school and completing all of their required tasks would be recognised with a certificate for their achievement, and students who possess that certificate will find it much easier to get a good job or get into college. So all students will see the connection between the effort they put into school and what they want for themselves when school is over (The New Standards Project – cited in McDonnell, 1994, p.10).
Asumsi pemangku kebijakan mengenai standar penilaian pendidikan adalah untuk memotivasi pembelajaran peserta didik agar mereka dapat menerima sertifikat kompetensi (mastery) setelah memenuhi standar prestasi akademik nasional yang disyaratkan. Kualifikasi pendidikan ini, kemudian, digunakan sebagai prasyarat untuk memasuki tempat kerja profesional, terutama di negara-negara berkembang (Dore, 1976 [1997]; Heyneman, 2000; Little, 2000). Sebagai implikasinya, terjadi pola penyediaan (supply) – permintaan (demand) kualifikasi pendidikan antara lulusan sekolah dan pengusaha/industri (Dore, 1976 [1997]; Little, 2000). Dari perspektif ekonomi, tuntutan tinggi akan kebutuhan tenaga kerja merangsang sistem pendidikan untuk menghasilkan tenaga kerja tanpa memandang mutunya. Hal ini, selanjutnya, mengarah pada tujuan pendidikan yang tidak diinginkan dimana peserta didik berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran di sekolah semata-mata hanya untuk mengejar sertifikat kompetensi akademik (Dore, 1976 [1997]). Semua hal tersebut terjadi dalam konteks Indonesia, dimana kebutuhan akan tenaga kerja adalah sekitar 3,7 juta per tahun (Ratya, 2017). Mayoritas dari mereka berasal dari lulusan sekolah menengah (Miftahudin, 2018). Sebagai contoh, jumlah peserta didik yang berpartisipasi dalam ujian nasional 2018 adalah sekitar 8,1 juta peserta didik (BKLM Kemendikbud, 2018) dengan standar nasional minimum 55 (skala 0 hingga 100) (BSNP, 2017). Perlu diketahui bahwa walaupun ujian nasional tidak digunakan lagi sebagai alat penentu kelulusan sejak tahun 2015, tetapi peserta didik wajib untuk mengikutinya. Sedangkan kelulusan peserta didik (sertifikasi) diserahkan sepenuhnya pada sekolah dan guru dalam rapat dewan guru (Peraturan Pemerintah No.13, tahun 2015). Dalam hal ini ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan antara lain: (1). Mengapa sejak bertahun-tahun yang lalu standar kelulusan untuk ujian nasional (melalui UNBK – Ujian Nasional Berbasis Komputer dan UNKP – Ujian Nasional Kertas dan Pensil) ditetapkan pada nilai 55 (dari skala 0 hingga 100)? (BSNP, 2017). Hal itu bertujuan agar jumlah peserta didik yang dapat mencapai dan/atau melebihi standar kelulusan nasional meningkat. Hal ini juga berarti sebagai investasi modal manusia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa (Malik Fadjar, UU Sisdiknas 20/2003; RNPK, 2018), (2). Setelah mereka lulus, kemana mereka selanjutnya? Mereka melanjutkan studi ke jenjang pendidikan lebih tinggi – baik negeri maupun swasta – ataupun di luar negeri dan jumlah mereka sekitar 2 – 2,2 juta peserta didik (Nasir, 2018). Bagaimana dengan peserta didik yang tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan lebih tinggi? Sangat mungkin mereka masuk ke berbagai industri baik domestik maupun internasional, sebagai pekerja pasif, tidak terampil, dan dengan upah rendah berdasarkan pada upah minimum regional (UMR) yang mempunyai rentang: Rp1.454.154 (D.I.Yogyakarta) – Rp3.648.035 (DKI Jakarta) (Hadijah, 2017). Dalam hal ini, terlihat pola penyediaan (supply) dan permintaan (demand) tenaga kerja antara dunia pendidikan (lulusan sekolah) dan industri/pasar (pengusaha). Selain itu, tidak menutup kemungkinan terjadi stratifikasi sosial antara peserta didik dari kelas atas/elit, kelas menengah, dan kelas pekerja yang direpresentasikan sebagai pekerja domestik dan non-domestik, Tenaga Kerja Indonesia (TKI). (3). Siapa yang menerima manfaat dari kebijakan penilaian pendidikan semacam ini? Jawabnya adalah pemerintah pusat. Bagaimana hal itu dapat terjadi? Para pekerja migran Indonesia tersebut telah memberikan kontribusi mereka kepada pemerintah pusat melalui devisa negara. Perlu diketahui bahwa TKI berkontribusi kepada pemerintah pusat sebesar US $ 10,5 miliar (sekitar Rp 140 Triliun) (Widyanita, 2017). Selanjutnya, (4). Siapa yang menderita dari kebijakan penilaian pendidikan semacam ini? Jawabnya adalah peserta didik yang berasal dari kalangan sosial-ekonomi rendah. (5). Dalam konteks pasar bebas, pengetahuan siapa yang diuji pada ujian nasional? Jawabnya adalah pengetahuan berbasis akademik/disiplin ilmu (discipline-based curriculum, the 20th century traditional curriculum) yang mayoritas dimiliki oleh peserta didik dari kalangan keluarga yang sosial-ekonominya tergolong mampu atau sangat mampu. Selanjutnya, siapa yang termarjinalkan? Jawabnya adalah peserta didik dari kalangan keluarga kelas buruh yang sosial-ekonominya tergolong tidak mampu akan mengalami kesulitan untuk mengakses pengetahuan berbasis disiplin ilmu (Wheelahan, 2007). Dalam konteks Indonesia, sebagai contoh, Kurikulum-2013 bidang studi kimia SMA/MA masih berbasis disiplin ilmu (Witjaksono dan Prakoso, 2018). (6). Apa implikasi dari hasil ujian nasional (high stake testing) bagi peserta didik? Adapun implikasi politiknya bagi peserta didik yang memiliki modal intelektual tinggi dapat memilih pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dengan leluasa, berdasarkan persyaratan akademik yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah. Sebagai ‘solusi’ dari masalah ini, sejak tahun 2017 pemerintah mengeluarkan kebijakan sistem zonasi pada pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) (Suhardi, 2018). Sedangkan implikasi sosial-ekonomi akan dirasakan oleh peserta didik yang modal intelektualnya rendah. Mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali masuk ke dunia industri sebagai pekerja pasif dan tidak trampil dengan upah rendah. Selain itu, mereka cenderung terpinggirkan secara sosial. (7). Mengapa hasil ujian nasional menjadi fokus utama bagi pemangku kebijakan pendidikan untuk menggunakannya sebagai indikator tunggal dalam merumuskan kebijakan penilaian pendidikan dengan beberapa tujuan yang berbeda? Ujian Nasional (UNBK dan UNKP) tahun pelajaran 2017/2018 diselenggarakan dengan mengurangi biaya sekitar 70% atau seratus juta rupiah (berarti inputnya minimum) (Sudiyarto, 2018). Sebagai indikator tunggal, hasil ujian nasional digunakan untuk merumuskan kebijakan penilaian pendidikan dengan berbagai tujuan (berarti efisien secara ekonomi dan outputnya maksimum) (BSNP, 2017). Selain itu, analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) dan tingkat pengembaliannya (rate-of-return) dapat dihitung).
Dari sudut pandang pemangku kebijakan, target paling akhir dari ujian nasional adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi negara, sesuai dengan bab pendahuluan dari UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional No.20/Tahun 2003 dan sesuai juga dengan salah satu hasil Konsultasi/Rembuk Nasional tentang Pendidikan dan Kebudayaan di Parung-Depok (RNPK, 2018). Masalah yang terjadi dalam mencapai target akhir ujian nasional adalah bahwa metode yang digunakan masih perlu lebih memberi perhatian penuh, kehati-hatian, dan secara komprehensif memperhitungkan dampak akademik, politik, sosial, dan ekonomi bagi peserta didik, terutama bagi mereka yang memiliki modal intelektual rendah.
Sebagai implikasi lain dalam konteks yang lebih luas adalah marketisasi secara internasional terhadap kualifikasi pendidikan, yaitu transfer pekerjaan dari negara maju ke negara berkembang (Dore, 1976 [1997]; Little, 2000). Dalam konteks Indonesia, misalnya, ada sepuluh sekolah swasta internasional di Jakarta (Raditya, 2018). Ketentuan praktik pendidikannya menggunakan standar kurikulum internasional dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pengajaran dan kriteria sertifikasi juga mengacu pada standar internasional. Selain itu, ada konsultan internasional untuk membantu penyelesaian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan sekolah internasional (Sitorus,?). Berdasarkan semua hal tersebut, dan dengan merujuk pada harapan pemangku kebijakan, kiranya perlu mengajukan pertanyaan berikut: Bagaimana strategi pemangku kebijakan dalam mencapai tujuan mereka untuk memotivasi pembelajaran peserta didik. Bagaimana cara untuk meningkatkan kinerja peserta didik? Apakah harapan pemangku kebijakan dapat terpenuhi?
Keputusan pemangku kebijakan seringkali didasarkan pada prosedur penilaian politik yang berorientasi pada pasar bebas (Broadfoot, 1996). Peters (2001) menggambarkan pendekatan pemangku kebijakan (misalnya, manajerialisme baru) sebagai berikut:
. . . we must invest (economic goals in our education system) as a basis for economic growth by redesigning the system so that it meets the needs of business and industry. The curriculum must also be redesigned to reflect the new realities and the need for the highly skilled flexible worker who possesses requisite skills in management, information handling, communication, problem-solving, and decision making . . . (p.66, italics added).
Dalam hubungannya dengan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, Malik Fadjar (2003), Menteri Pendidikan Nasional, memberi pernyataan tentang tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:
Pemerintah mengakui pentingnya pendidikan sebagai investasi dalam pembentukan sumber daya manusia yang meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di masa depan di Indonesia (Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang No.20/ 2003, hal.4).
Untuk mencapai tujuan ekonomi mereka melalui sistem pendidikan nasional, pemangku kebijakan menggunakan serangkaian prosedur, seperti inspeksi sekolah, sebagai bentuk pengendalian, pemantauan dan penekanan sistem pendidikan; publikasi tabel liga untuk perbandingan; jaminan kualitas sebagai bentuk kontrol internal; hukuman finansial untuk memastikan bahwa upaya telah dilakukan; dan dengan menambahkan dimensi penting baru di seluruh tingkatan kurikulum, yang berkaitan dengan penerapan keterampilan inti dalam sains dan teknologi, untuk mencapai tujuan sistem pendidikan nasional; serta melalui peningkatan seluruh tingkat prestasi peserta didik sebagai potensi tenaga kerja berkompeten dan berketerampilan tinggi (Broadfoot, 1996a). Jelas, prosedur ini kompatibel dengan model marketisasi pendidikan dari Ball (1990). Dalam melakukan hal itu, pemangku kebijakan sangat bergantung pada ranah kognitif/akademik dari proses pendidikan (Broadfoot dan Black, 2004) yang efisien dalam biaya operasionalnya (Madaus dkk, 1992) untuk mengendalikan kompetensi akademik peserta didik dengan mengeyampingkan kebutuhan lain peserta didik. Namun, pemangku kebijakan perlu mengetahui bahwa peserta didik juga memerlukan pengetahuan humanistik (Broadfoot dan Black, 2004; Kandel, 1955) sebagai modal sosial bagi mereka dalam menghadapi era globalisasi (Hargreaves, 2001). Dalam hal ini, penilaian harus dipahami sebagai proses sosial dan bukan sebagai produk sosial (Broadfoot dan Black, 2004; Filer, 2000; Gipps, 1999). Dengan demikian, jawaban untuk pertanyaanpertanyaan tersebut di atas adalah bahwa metode ilmiah sama sekali tidak memadai untuk diterapkan dalam konteks tersebut (Kazamias dan Schwartz, 1977). Kutipan berikut mengilustrasikan hal tersebut:
Assuming that the methods of statistical tests and measurements have become sufficiently established to be reliable, all that can be claimed for them is that they measure results, but they cannot define aims and purpose of education; they may formulate norms, and that only on a limited range of activities, but they cannot set up qualitative standards (Kandel, 1955, p.xxiii).
A.2. Diskursus kebijakan penilaian seleksi
Pemangku kebijakan pendidikan lainnya memusatkan perhatian mereka pada penilaian untuk tujuan seleksi. Kutipan berikut menggambarkan hal ini:
As school population continued to swell and diversify with compulsory education and immigration, differences in the level of ability and aptitude among students continued to plague educators . . . and school systems began to use test scores for ability grouping. The use of testing to identify children … became a common practice in educational settings. Testing provided a convenient and powerful instrument of social control for those . . . who sought to use tests as a means to create the “one best system” of education (Glaser and Silver, 1994, p.396).
Ada empat objektif yang mendasari kebijakan penilaian untuk tujuan seleksi. Pertama, mengurangi monopoli kekayaan sejak lahir sebagaimana digambarkan di bagian sebelumnya. Kedua, memeriksa patronase dan korupsi. Ketiga, mengalokasikan sumber daya yang langka di pendidikan tinggi dan yang terakhir mengendalikan kurikulum (Eckstein dan Noah, 1993). Selanjutnya, hal ini menimbulkan pertanyaan berikut:
Bagaimana pemangku kebijakan pendidikan melakukan seleksi peserta didik untuk mencapai tujuan mereka? Salah satu caranya adalah dengan melihat masalah rendahnya prestasi akademik peserta didik dalam sistem pendidikan berbasis hasil/output (istilah baru untuk stratifikasi hasil pendidikan dalam versi lama, Apple, 1993). Dengan cara ini, peserta didik diseleksi berdasarkan perbedaan kemampuan intelektual mereka dan kemudian memberi tugas kepada mereka berdasarkan kelompok yang sesuai dengan kemampuan mereka. Pemikiran seperti ini berasumsi bahwa masalahnya terletak pada masing-masing individu peserta didik dan atau latar belakang sosial ekonomi keluarga mereka (Barton & Slee, 1999; Fulcher, 1994; Glaser dan Silver, 1994). Model pemikiran ini juga dikenal sebagai model defisit kinerja akademik peserta didik (Barton & Slee, 1999; Whitty, 2001).
Pada implementasinya, pemangku kebijakan menggunakan tes seleksi melalui persaingan pasar bebas antara masingmasing individu dalam organisasi. Mereka menganggap bahwa mekanisme distribusi yang bertujuan untuk mengalokasikan sumber daya ini merupakan cara distribusi yang paling efisien dan paling adil (Barton & Slee, 1999). Mereka menggunakan aturan kompetitif seperti indikator kinerja yang bertindak sebagai instrumen pengendali mutu hasil pendidikan. Dalam hal ini, pemangku kebijakan mengasosiasikan indikator kinerja dengan kinerja ketenagakerjaan yang mempunyai hubungan penting antara pemerintah dan pasar tenaga kerja (Miura, 2001). Oleh karena itu, minat pemangku kebijakan adalah pada performativitas (yaitu istilah yang digunakan oleh Lyotard (1984) untuk menunjukkan wacana bisnis dan manajemen) (Cowen, 1996). Dalam konteks Indonesia, pemerintah mengendalikan prosedur operasional standar ujian nasional 2017/2018, melalui mekanisme birokrasi, berdasarkan pada standar pendidikan nasional (UU Sistem Pendidikan Nasional No.20 / 2003, Bab IX, Pasal 35, ayat 1). Dalam hal ini, standar/kriteria lulus-tidak lulus sebesar 55 (dalam skala 0 hingga 10) ditetapkan secara politis (BSNP, 2017). Kontrol selanjutnya adalah mempartisi proses pengambilan keputusan pada tingkat sekolah dengan tujuan untuk efisiensi dan efektivitas dalam manajemen organisasi (Barton & Slee, 1999). Dalam konteks Indonesia, misalnya, masing-masing sekolah, melalui implementasi Kurikulum2006, diizinkan untuk membuat keputusan sendiri tentang bagaimana mengembangkan standar materi (Materi Pokok-MP)
(PerMendiknas No.22, 2006) untuk menjadi indikator pencapaian dengan mengacu pada standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang distandarisasi secara nasional (PerMendiknas No.23, 2006). Kurikulum-2006 ini kemudian dikenal sebagai kurikulum berbasis sekolah (Kurikulum Tingkat Satuan PendidikanKTSP (PerMendiknas No.24, 2006). Jelas, pemangku kebijakan pendidikan menerapkan rasionalitas ekonomi berdasarkan pendekatan pasar bebas (Whitty, 2001) untuk merencanakan sistem pendidikan dalam hal penyediaan kurikulum dan praktik penilaiannya. Intervensi pemerintah, selanjutnya, mengarah ke pertanyaan berikutnya: Siapa yang diuntungkan dan dipinggirkan dengan menerapkan pendekatan tersebut?
Tujuan pemangku kebijakan pada tes seleksi adalah untuk memilih peserta didik yang outputnya berkualitas dan mereka ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya berdasarkan standar tertentu, yang dikendalikan secara terpusat oleh pemerintah (Mazzeo, 2001). Mereka menggunakan mesin yang lebih efisien (OMR – Optical Machine Reader) untuk meminimalkan biaya administrasi dan pada akhirnya untuk mendistribusikan sumber daya yang lebih luas (Apple, 1993). Namun, strategi ini memiliki pengaruh yang tidak menguntungkan bagi peserta didik yang berasal dari keluarga miskin, tertinggal, dan kurang beruntung dalam hal hasil/output pendidikannya. Mereka siap untuk memasuki pasar kerja (Dore, 1976 [1997]; Little, 2000) sebagai pekerja yang melek huruf dan produktif (Karen, 1994). Dengan demikian, hasil/output pendidikan memiliki budaya yang lebih terfragmentasi, terpolarisasi, dan selektif, diperkuat oleh pengawasan yang lebih besar dan ditopang oleh bentuk-bentuk inspeksi baru serta dengan pengenalan tabel liga/league table (Barton & Slee, 1999). Akhirnya, hal ini mengarah pada pertanyaan penting berikut: Sebenarnya, kriteria kinerja siapa yang digunakan? Siapa yang mengendalikan konten/materi kurikulum dan penilaian? Pengetahuan siapa yang secara resmi dilegitimasi dalam penyelenggaraan praktik pendidikan dalam periode marketisasi pendidikan? Siapa yang diuntungkan dan terpinggirkan sebagai akibat dari kebijakan tersebut? (Apple, 1993).
Sudut pandang lain berpendapat bahwa fokus pada kegagalan masing-masing peserta didik yang hanya didasarkan pada kemampuan mereka yang berbeda, terlepas dari penyebab kegagalannya, sama sekali tidak memadai dan menyesatkan (Walker dan Walker, 1997). Hal ini karena pendekatan rasional ekonomi difokuskan pada struktur transmisi status keluarga, seperti kelas sosial dan modal budayaekonomi (Whitty, 2001). Masalah kegagalan peserta didik yang dikategorikan sebagai kelas pekerja terkait pencapaian akademiknya, adalah sebagai akibat dari defisit yang terjadi di rumah kelas pekerja tersebut, baik defisit secara material maupun budaya (Whitty, 2001). Oleh karena itu, pemangku kebijakan pendidikan menggunakan latar belakang sosial-ekonomi keluarga sebagai dasar ukuran dalam pencapaian akademik peserta didik untuk menghasilkan tatanan sosial dalam masyarakat (Haller dan Portes, 1973; Raudenbush, 2004; Whitty, 2001). Sebaliknya, sudut pandang lain melihat kegagalan kelas pekerja tersebut sebagai hasil relasional dari kekuatan kelas menengah untuk mendefinisikan apa yang dianggap sebagai pengetahuan dan pencapaian kompetensi (Whitty, 2001). Jadi jelas, pengetahuan siapa dan pengetahuan apa yang diberikan dalam penyelenggaraan proses pendidikan (kurikulum dan proses penilaian) akan menentukan kegagalan kelas pekerja. Ini sejalan dengan pernyataan Apple (1993) bahwa:
behind the educational justifications for a national curriculum and a national testing is an ideological attack that is very dangerous. Its effects will be truly damaging to those who already have the most to lose in this society (p.223).
Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, pertanyaan lain harus diajukan, yaitu: Ideologi siapa yang diterapkan? (Apple, 1993). Dalam konteks ini, ada dua ideologi yang saling berinteraksi: neo-liberalisme dengan visi pasar bebas biasanya disertai dengan neokonservatisme dengan visi mengatur konten/materi dan perilaku melalui kurikulum nasional, standar nasional, dan sistem penilaian nasional (Apple, 2001). Dengan demikian, minatnya, menurut Apple (1993):
lie not in increasing the life chances of women, people of color, or labor. Rather, it aims at providing the educational conditions believed necessary both for increasing international competitiveness, profit, and discipline and for returning us to a romanticised past of the “ideal” home, family, and school (p.227)
Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?
Don’t mention it….Yes, please ask your question, hopefully I can help you. ….(I’m sorry for being late responding your question).